Wanita Tangguh si Pejuang Keadilan Lingkungan
HA IPB – Nurul Almy Hafild atau yang akrab disapa Emmy Hafild (1958-2021) menghabiskan lebih dari 30 tahun mengabdi untuk lingkungan. Saat SMA, ia dan keluarganya pindah ke Jakarta. Emmy lalu kuliah di Institut Pertanian Bogor jurusan Agronomi pada tahun 1978.
Debutnya dalam menyuarakan lingkungan hidup dan sosial sejak usia muda. Emmy menginjakkan kakinya di IPB University saat kampus sedang melawan rezim orde baru. Yang mana saat itu membuat emmy berkenalan dengan aktivis kampus IPB, ia vokal terhadap Soeharto. Momen ini membuat Emmy menjadi orang yang berani, bersuara lantang, dan tidak segan berdebat mengenai keadilan lingkungan.
Di kampus, Emmy aktif di sejumlah organisasi, baik intra maupun ekstra kampus. Di dalam kampus, ia aktif di Himpunan Mahasiswa Agronomi dan Himpunan Mahasiswa Pencinta Alam IPB, Lawalata.!Lawalata tidak mengikuti model Mapala UI atau Wanadri Bandung yang terkenal dengan aktivitas mahasiswa untuk mendaki gunung di dalam dan luar negeri. Sebaliknya memupuk kesadaran lingkungan.
“Badan saya kecil dan tidak kuat secara fisik, namun diterima di Lawalata,” kata Emmy waktu perayaan HUT ke 40 tahun Lawalata pada tahun 2015. Pada masa pembinaan menjadi anggota Lawalata, Emmy dan sahabat dekatnya, Hanni Adiati dan Ratih Purbasari, banyak menyedot perhatian. Setiap selesai kuliah, ketiganya memungut bungkus permen dan aneka sampah di dalam kelas. Oleh teman-temannya, mereka dijuluki sebagai petugas dinas kebersihan.
Sementara di luar kampus, dia menjadi anggota Yayasan Indonesia Hijau — sebuah lembaga non-pemerintah yang bergerak di bidang lingkungan. Lulus dari IPB, pada 1982, Emmy terjun total di Yayasan Indonesia Hijau. Setelah dua tahun berkiprah di sana, dia bergabung dengan Skephi (Sekretariat Kerjasama Kelestarian Hutan Indonesia) hingga 1988.
Setelah itu, Emmy berlabuh di Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menangani program isu-isu khusus. Saat Emmy gabung WALHI di tahun 1988, Badan Eksekutif WALHI mengkampanyekan reformasi lingkungan hidup yang berfokus pada hal-hal makro, yang meliputi kebijakan dan kelembagaan lingkungan.
Emmy menerima beasiswa Fulbright untuk belajar Master of Science dalam Studi Lingkungan di University of Wisconsin pada tahun 1994. Wanita kelahiran 3 April 1958 ini pernah jadi Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia periode 1996-2001 serta Forum Lingkungan Hidup Indonesia.
Abetnego Tarigan, Deputi II Kantor Staf Kepresidenan mengatakan, Emmy selalu berani mengkritik kepada para ‘junior’ di Walhi. Abet yang pernah menjadi sebagai Direktur Eksekutif Walhi Nasional periode 2012-2016 ini mengatakan, Emmy seorang pemimpin yang konsisten dalam menyuarakan isu gender dan perubahan iklim ke ruang publik.
“Dia itu sering marah kepada saya, tapi ternyata tidak ada juniornya yang tidak dimarahi. Kelebihannya, kemarahannya itu tidak pernah dibawa ke hati atau personal. Berdebat sekeras apapun, tidak membuat secara personal kita musuhan. Itu yang luar biasa,” ujar Abet.
Pada tahun 1998 saat masih tergabung dalam WALHI, ia juga terlibat dalam pembentukan gabungan LSM Antikorupsi. Dia merupakan co-founder dan Direktur Eksekutif Transparency International Indonesia (TII), sebuah organisasi anti-korupsi yang berbasis di Jakarta, selama tiga tahun.
Pada 1999, sosok Emmy dimuat di majalah Times bersama aktivis lingkungan dunia sebagai Hero of the Planet. Kala itu dia menyuarakan kritik atas PT Freeport yang menambang di Papua. Dia bersanding dengan aktivis lingkungan dunia lain, seperti Russell Mittermeier, Dune Lankard, Mark Plotkin, dan Wangari Maathai.
Media ternama internasional seperti Asian Wallstreet Journal, NY Times, Time Magazine, dan lainnya memberitakan hasil investigasi dan kampanye WALHI soal Freeport. “Bagi saya, penghargaan itu merupakan kemenangan gerakan lingkungan hidup, bukan buat saya pribadi,” katanya.
Menjelang akhir orde baru, WALHI bersama Fordem, LBH, dan beberapa eksponen giat mendorong proses demokrasi dan reformasi di Indonesia. Emmy juga pernah menjadi Direktur Eksekutif Greenpeace Asia Tenggara dan Direktur Eksekutif Yayasan Komodo Kita.
Pada Konferensi PBB tentang Perubahan Iklim (COP 13) di Bali tahun 2007, Emmy, yang saat itu menjadi Direktur Eksekutif Greenpeace Asia Tenggara, hadir dengan kapal Rainbow Warrior. Saat itu dia mengkritik pimpinan delegasi Indonesia yang memfasilitasi broker karbon. Presiden COP-13 waktu itu Menteri LH Rachmat Witoelar, penasehatnya Profesor Emil Salim dan ketua panitia pelaksana adalah Agus Purnomo.
Saat ada pelemahan terhadap lembaga anti rasuah, Emmy pun ikut berada di garis terdepan. Tahun 2015, dia terlibat aksi menolak upaya pelemahan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui revisi atas Undang-undang Nomor 30/2002 tentang KPK.
Pada tahun 2015 ia melepas posisinya di Greenpeace dan tahun 2017, Emmy memutuskan masuk dalam sistem politik, dan berlabuh di Partai Nasdem. Dia pun pernah menjabat sebagai Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Nasdem.
Emmy bilang dia galau melihat kondisi politik dan lingkungan di Tanah Air. Perjuangannya bersama WALHI sudah dikenal publik, namun apa artinya jika tidak bisa memperbaiki sistem. “Jadi dorongan utama saya masuk dalam sistem adalah upaya untuk melakukan sesuatu yang bersifat makro dan berdampak masif,” ujar Emmy lagi.
Saat itu, Emmy sadar usianya tidak lagi muda. Namun dia kukuh. “Aging is privilege. You are never too old to set another goal or to dream another dreams.” Dia mengutip CS Lewis.[H-5]