Evalinda Amir

Jatuh, Bangkit dan Melebarkan Sayap Bisnis

HA IPB – Tekad sejak kecil memperbaiki ekonomi keluarga mengantarkan Evalinda Amir, terjun dalam bisnis ayam goreng kaki lima. Dialah CEO & Founder D’Besto. Pernah bangkrut, Eva kini sukses membangun D’Besto, miniresto ayam goreng yang punya 300 mitra di seluruh Indonesia.

Bukan jalan mudah menggapai beragam nikmat yang dikecap dan dirasakan dokter hewan (drh) Hj Evalinda Amir bersama suaminya yang juga dokter hewan, Setyajid.

Kedua dokter hewan jebolan IPB itu mampu mengembangkan peternakan, hingga harus menyediakan 12 ribu ekor potong ayam untuk melayani pelanggannya melalui usaha kuliner d’ Besto.

Hingga 2021 lalu, jumlah outlet D’Besto tercatat sudah mencapai 300 cabang tersebar di Jakarta, Banten, Jawa Barat, Sumatra Barat, dan Riau. Kemudian Lampung, Jambi, dan Sumatra Utara serta beberapa wilayah lainnya.

Eva meresapi betul mimpi mengubah kehidupan. Terlebih, karena kakaknya yang harus menanggung pendidikan perempuan asal Payakumbuh, Sumbar ini saat kuliah di IPB University, Bogor.

Ayahnya tidak lagi sanggup lagi membiayai. Kakaknya, dosen honorer, kerja sambilan di bengkel untuk menutup kekurangan. “Tambah kuat keinginan saya untuk mengubah nasib. Saya harus menjadi pahlawan di keluarga. Itulah cita-citanya tapi bagaimana caranya, saya enggak tahu,” jujurnya, seperti ditulis alumniipbpedia.

Selesai kuliah pada 1990, Eva kerja di Jakarta sambil berbisnis. Setahun berlalu, dia menikah dan menjalani usaha bersama suami, Setyajid. Yang dirintis pertama kali yaitu jualan kambing kurban. Di rumah kontrakan, Eva tinggal dengan banyak orang dan memikirkan kerjaan buat mereka. Mulailah Eva jualan ayam potong. Orang di rumah memotong ayam, dia dan suami yang memasarkan.

Dari jualan 5 ekor/hari, naik sampai 300 ekor/hari. Kendalanya, ayam baru dibayar setelah magrib. Jika yang punya warung tidak ada, pembayaran mundur. Lalu dia mencari dagangan yang tidak bisa diutang orang. Tercetuslah jualan nasi uduk pada 1992.

Saat sedang jalan-jalan dengan suami di tahun 1993, Eva melihat jualan ayam goreng yang ramai pembeli. Dia ikut beli dan rasanya enak. Eva lalu menjajakan ayam goreng sambil mempelajari bumbunya. Setahun dia mempelajari resep dan menguji coba. Jika ketemu orang yang senang masak, dia minta cicip ayam goreng racikannya lalu tanya pendapatnya.

Pada 1994 jadilah formula yang pas. Eva mulai dagang ayam goreng kaki lima bermerek Kentuku Fried Chicken (KuFC). “Suami bagian mendobrak, yang bagian keuangan tetap saya. Saya punya ponakan, dia yang saya ajak bagian catat-catatnya,” ulasnya.

Tahun 1997 usaha KuFC sedang bagus-bagusnya dengan omzet Rp 5 juta sehari. “Luar biasa itu, sudah hebat. Sampai, suami saya suruh berhenti kerja untuk fokus KuFC,” katanya.

Bangkrut

Bertepatan pula perusahaan menawari pegawai mengundurkan diri dan memberi pesangon sebab krisis moneter mulai melanda. Tidak lama Eva berhenti kerja, krisis itu ‘menghancurkan’ perekonomian, termasuk KuFC.

“Akhirnya bangkrut, tutup semua. Di situlah mulai kesulitan kehidupan saya yang sesungguhnya,” turutnya. Apalagi, ia berutang Rp 50 juta.

Eva melakukan kesalahan dengan tidak punya tabungan karena setiap keuntungan dipakai buat buka cabang hingga ada 10 outlet. “Itu pengalaman yang sangat berharga. Harusnya kita ada tabungan atau dana cadangan. Siapa yang nyangka 1998 bangkrut,” ujar pehobi tanaman itu.

Setahun kesusahan, dia menunggak biaya sekolah anak hingga tidak bisa ambil rapor. Meski hidup sulit, keluarga besar di Sumbar tidak ada yang tahu. Adik ipar yang tinggal bersama Eva pulang kampung ke Bojonegoro, Jatim dan bercerita ke orang tua.

Ibu mertua sampai menjual tanah dan mengirim uang buat pulang kampung. “Kami minta maaf ke ibu, kita terima duitnya tapi enggak pulang kampung. Kami pinjam duit itu,” tukasnya.

Bermodal uang itu Eva dan suami mulai dari awal. Beragam usaha dilakoni seperti jualan aneka kue. Pada 1999 Eva bangkit lagi jualan ayam goreng. Perempuan kelahiran 1964 itu juga punya tempat di Stasiun Depok, Jabar yang sudah kosong 9 bulan.

Walau tak ada modal, Eva punya keyakinan. Apalagi dalam kondisi apapun, dia tidak pernah meninggalkan tirakat, memperbanyak ibadah sunah seperti salat duha dan tahajud serta puasa Senin dan Kamis.

“Kalau tirakatan kita bagus, di saat penting itu pertolongan Allah pasti datang. Alhamdullilah, dalam kondisi begitu yang menguatkan kita adalah tirakatan. Dan, saya selalu menggunakan faktor why. Ibu saya kan pengen naik haji. Itu yang saya jadikan faktor why-nya,” jelasnya.

Tanpa sadar Eva menuju pasar Depok sambil berdoa. “Berdoa supaya ada tukang ayam yang mau minjamin ayam,” katanya.

Dia kenalan dengan tukang ayam bernama Yadi. “Saya punya keahlian buat fried chicken dan punya tempat di stasiun Depok Lama tapi enggak punya modal. Kalau sampeyan (kamu) percaya, pinjamin 5 ekor, nanti magrib jemput ya Mas, doain mudah-mudahan laku. Dipinjemin tuh, coba, baru kenalan lo! Di saat begitu Allah menunjukkan ke kita,” urainya.

Jam 5 sore dagangan habis. Yadi baru muncul sehabis isya. “Untuk menjaga kepercayaan, saya rela menunggu dari jam 5 sampai jam 8 malam,” ulas penyuka makanan tradisional itu.

Esoknya, Eva pinjam 10 ekor ayam dan habis terjual. Ia juga mengatur pendapatan yang diperoleh. Akhirnya, dia bisa menjual 50 ekor ayam/hari. Semangat pun muncul.

Karyawan yang dulu dirumahkan, dikaryakan lagi. “Tahun 1998 karena bangkrut, enggak bisa gaji. Tapi kami bilang, kami masih punya utang sama kamu, gajimu. Kami pulangkan karyawan hanya untuk ongkos saja,” paparnya.

Usaha KuFC bertahan 17 tahun karena tidak lolos paten sebab mirip KFC. Eva diminta cari nama lain. Akhirnya, tercetuslah D’Besto di tahun 2011 dari kata “The Best to” yang disuarakan dalam logat Jawa.

D’Besto mengusung konsep miniresto untuk naik ‘kelas’. “Di 2010 kita mulai berpikir naik ke level yang lebih baik lagi, ke kios, jangan kaki lima terus,” ujarnya.

Usaha ini lalu membuat pola kemitraan, menjaga kualitas, dan kepercayaan investor. Yang pertama tertarik berinvestasi ialah guru sekolah alam.

Kiat sukses mengembangkan usaha, jelas Eva, yaitu menjaga rasa, memperhatikan kualitas, memakai kertas HVS baru, menggunakan minyak goreng berkualitas, berseragam, serta tampil beda.

Semua dilakukan sejak awal usaha KuFC. “Kami fokus dengan rasa dengan cara blind test (tes mata tertutup). Kalau mau meluncurkan produk baru, kita blind test. Kalau belum 80% enak, kita belum luncurkan,” imbuh ibu 3 anak ini.

Di masa Covid-19, Eva mengaku cukup terdampak hingga memberhentikan 200 karyawan. Namun, D’Besto terus berinovasi agar tetap tumbuh. Usaha di bawah bendera PT Setianda Duta Makmur ini bahkan memenangkan penghargaan Shopee Awards 2021 sebagai Top Growing F&B Merchant karena dinilai turut menjadi penggerak ekonomi digital di Indonesia.

Yang menonjol adalah membantu lembaga pendidikan Islam, membangun rumah tahfiz Quran, dan banyak lagi yang lain, termasuk membantu mahasiswa IPB University yang dhuafa. Jumlahnya berasal dari Minang sekitar 650 orang dan sekitar 50 persen di antaranya adalah dhuafa. [H-3]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *