Taufiq Ismail

Dokter Hewan yang Jadi Sastrawan Kondang

HA IPB – Sastrawan senior Taufiq Ismail telah menelurkan berbagai karya untuk memperkaya dunia sastra Indonesia. Beberapa karyanya antara lain Tirani – Birpen KAMI Pusat (1966), Benteng – Litera (1966), dan Buku Tamu Musium Perjuangan – Dewan Kesenian Jakarta (buklet baca puisi) (1972).

Dibalik kecermelangannya ini, ternyata beliau adalah lulusan kedokteran hewan. AlumniFakultas Kedokteran Hewan IPB tahun 1963 ini (FKH-S1 IPB/UI), sebelum memutuskan masuk jurusan kedokteran hewan memang sudah memiliki ketertarikan di bidang sastra. Meskipun Taufiq mengambil studi kedokteran hewan, pada kenyataannya lebih banyak berkiprah di bidang media, di mana ia menjadi wartawan.

Perjalanan kehidupannya sebagai sastrawan dimulai sejak ia di bangku sekolah. Sejak kecil ia suka membaca dan memiliki ciri-cita sebagai sastrawan ketika masih SMA. Sajak pertamanya bahkan berhasil dimuat di majalah Mimbar Indonesia dan Kisah.

Pria kelahiran Bukittinggi, Sumatera Barat, 25 Juni 1935 ini berayahkan seorang ulama Muhammadiyah terkemuka, K.H. Abdul Gaffar Ismail, dan ibunya, Tinur Muhammad Nur. Ia yang dibesarkan di Pekalongan mengawali pendidikannya di Sekolah Dasar (SD) di Solo dan menyelesaikannya di Sekolah Rakyat Muhammadiyah Ngupasan, Yogyakarta pada 1948.

Setelah itu, ia melanjutkan sekolahnya di tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Bukittinggi dan lulus pada 1952. Selanjutnya, ia menempuh pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) di Bogor, Jawa Barat, di SMA Negeri Pekalongan tahun 1956. Berkat kecerdasannya, Taufiq sempat mengikuti pertukaran pelajar di White First Bay High School, Milwakee, Wisconsin, Amerika Serikat tahun 1957.

Setelah tamat SMA, dia lanjut ke Universitas Indonesia, Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan, sejak 1957 hingga 1963. Selama kuliah, Taufiq merupakan mahasiswa yang aktif. Pernah menjadi Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan (1960-1961) dan Wakil Ketua Dewan Mahasiswa (1960-1962). Taufiq pernah menjadi asisten dosen untuk mata kuliah Manajemen Peternakan pada 1961 hingga 1964. Namun, ia dipecat karena ikut menandatangani Manifesto Kebudayaan. Manifesto Kebudayaan adalah konsep kebudayaan yang mengusung humanisme-universal dibentuk sekitar pada 1963.

Setelah lulus, dia mengajar sebagai guru bahasa di SMA Regina Pacis, Bogor (1963-1965), guru Ilmu Pengantar Peternakan di Pesantren Darul Fallah, Ciampea (1962), dan asisten dosen Manajemen Peternakan Fakultas Peternakan, Universitas Indonesia Bogor dan IPB (1961-1964).  Kemudian, sejak 1961 hingga 1963, Taufiq menjadi Ketua II Dewan Mahasiswa, Universitas Indonesia. Pengalaman organisasi Taufiq ini mendorongnya terus berkiprah dalam berbagai organisasi kemasyarakatan.

Pada 1966, bersama-sama dengan Mochtar Lubis, P.K. Oyong, Zaini, dan Arif Budiman, Taufiq Ismail mendirikan sastra bulanan yang bernama Horison. Sejak mendirikan Horison, Taufiq Ismail banyak berkarier sebagai penyair. Kiprah penyairnya dimulai ketika ia menulis puisi-puisi demonstrasi yang terkumpul dalam majalah Tirani dan Benteng pada 1966. Ia dikenal sebagai penyair partisan dalam aksi demonstrasi mahasiswa pada 1966 dan menjadi wartawan di harian Kami.

Taufiq merupakan salah seorang pendiri Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), Taman Ismail Marzuki (TIM), dan Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ) (1968). Taufiq juga pernah bekerja sebagai Manajer Hubungan Luar di PT Unilever Indonesia (1978-1990), dan selama menjalankan berbagai profesi, ia tetap aktif menulis dan membaca puisi.

Lebih lanjut, pada 1970, terbit berbagai kumpulan Puisi-puisi Sepi yang kemudian disusul dengan terbitnya Buku tamu Musium Perjuangan pada 1972. Taufiq Ismail juga menulis beberapa puisi anak dan menghasilkan buku kumpulan puisi yang bertajuk Kenalkan Saya Hewan yang terbit tahun 1973.

Ia juga menempuh pendidikan non-gelar, seperti di School of Letters International Writing Program, University of Lowa, tahun 1971-1972 dan tahun 1991-1992. Pada 1993, Taufiq Ismail belajar di Mesir pada Faculty of Language and Literature America University in Cairo.

Pada masa Orde Baru, ia lebih banyak menulis puisi tentang situasi di era itu, yang diberi judul Malu Aku Jadi Orang Indonesia tahun 1998, diterbitkan Yayasan Ananda. Taufiq kemudian melanjutkan puisi-puisinya yang bertajuk Tirani dan Benteng, Buku Tamu Musim Perjuangan, Sajak Ladang Jagung, dan sebagainya.

Sejak tahun 1970, Taufiq sering membacakan puisinya di depan umum, bahkan hingga ke luar negeri. Ia membacakan puisi ciptaannya di berbagai festival dan acara sastra di 24 kota Asia, Australia, Amerika, Eropa, dan Afrika.  Tak hanya dunia sastra, Taufik Ismail juga mengepakkan sayapnya dalam dunia musik. Taufik juga mahir menciptakan lagu. Ia bersama Bimbo, Chrisye, Ian Antono, dan Ucok Harahap menjalin kerja sama di bidang musik tahun 1974. Sudah ada beberapa lagu yang liriknya ditulis oleh Taufik Ismail.

Jerih payahnya dalam dunia sastra telah membuat Taufiq Ismail meraih sejumlah penghargaan, yaitu: Anugerah Seni (1970_ Cultural Visit Award dari Pemerintah Australia (1977) South East Asia Write Award dari Kerajaan Thailand (1994) Penulisan Karya Sastra dari Pusat Bahasa (1994), Sastrawan Nusantara dari Negeri Johor, Malaysia (1999), dan Doctor honoris causa dari Universitas Negeri Yogyakarta (2003).[H-5]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *